Secara kebetulan ada waktu bertemu dengan Surya Agung Wibowo. Ia adalah salah satu atlet yang mengeluarkan harum bau bunga atas prestasinya di Sea Games XXIV 2008 di Nakhon Ratchasima, Thailand. Ia menyabet dua medali emas untuk lari 100 meter dengan catatan waktu 10,25 detik, menjadi rekor terbaru Sea Games 2008 dan lari 200 meter ditempuhnya dengan 20,76 detik, rekor baru Nasional.
Ia ibarat kijang kencana emas yang berlari bak panah yang dilepaskan dari busur panah Arjuna. Cepat menuju sasaran. Tidak heran kalau ia berhasil memecahkan rekor Sea Games dari 10,26 detik menjadi 10,26 detik.
Surya Agung Wibowo, kelahiran Surakarta, 8 Oktober 1983 ini telah menikah dengan Astatik Anjarwani dan mempunyai seorang putri, Salwa Azzahra Wibowo (9 bulan). Sangat bersahaja, pribadi sederhana dengan tipikal kerendahan hati ala Solo.
Ketika ikutan menyantap makanan gule kambing di kantin Koni, makanan kesukaan dirinya. Ibu kantinpun bangga dengan Agung. “Ini lo mas ketika dapet medali emas jempolnya dimasukan ke mulut,” ujar si ibu kantin sambil mencontohkan jempolnya dimasukan ke mulut. Agung, panggilan akrabnya hanya tersenyum tersipu malu.
“Agung uangnya sudah dibeliken apa? Mobilkah,” tanya si ibu kantin. Agung yang meraih prestasi 2 medali emas ini diganjar 400 juta rupiah dari Menpora Adhyaksa Dault dan bea siswa untuk melanjutkan program S2 nya. Wackss... Jangan kaget. Agung, seorang atlet yang juga sarjana Pendidikan lo. Ia lulusan fakultas Pendidikan Kepelatihan Olahraga Universitas Nasional Semarang. Ehm... langka ya seorang atlet yang juga bergelar sarjana.
Striker
Apa iya Agung bercita-cita menjadi atlet pelari?
Ternyata tidak lo. Ia justru mempunyai cita-cita ingin menjadi sepakbola ternama. Penyerang tengah adalah impiannya. Sejak kelas 2 SMP, Agung telah diajak ikutan pertandingan sepakbola tarkam (antar kampung).
“Saat itu saya sudah dibayar 20.000 rupiah setiap kali bertanding. Pokoknya hampir ke pelosok Solo dan Yogya, aku diajak bermain bola,” jelasnya. Ia pun bercerita betapa takutnya lawan-lawan sepakbolanya menghadapi kecepatan lari Agung dalam menyambut umpan dari temannya untuk membobol gawang lawan.
Mendengar cerita Agung. Saya membayangkan kecepatan Michael Owen ketika baru muncul yang bisa lari 100 meter dengan catatan waktu 10 detikan. Atau Odonkor, pemain sayap Jerman yang mempunyai kemampuan sama.
Seandainya Agung tetap menekuni dunia sepakbola. Betapa indahnya menyaksikan lesatan larinya Agung diantara pemain belakang sepakbola di Copa Indonesia atau Liga Indonesia. Sayangnya garis tangan Agung tidak ke sepakbola tapi ke atlet. Lalu apa yang menyebabkan dirinya meleset ke atlet?
Kolusi
Cita-cita Agung ingin menjadi pemain sepakbola dunia. Benar-benar ingin diwujudkannya. Ia pun mencoba mendaftar menjadi pemain sepakbola pelajar di Solo.
Agung masuk ke 24 pemain yang akan diseleksi akhir karena hanya 22 pemain yang akan terpilih. Saat final seleksi tiba. Agung tersisih. Ia kalah bersaing dengan adik sang pelatih. Agung kalah karena kolusi. Aduh menyedihkan dan hancur hatinya.
Ia pun mengadukan hal ini kepada kedua orangtuanya, H.Ngadiman dan Hj.Ngatiyah. Orangtuanya selalu memberikan dorongan semangat kepada si ragil (bungsu) untuk meneruskan cita-citanya. Bahkan secara khusus sang ibu memanjatkan doa agar anaknya ini bisa menjadi pemain sepakbola ternama ketika menjalankan ibadah haji.
Agung melihat ada kesempatan untuk mewujudkan cita-citanya menjadi pemain sepakbola dengan mengikuti seleksi tim sepakbola pelajar se Jawa Tengah. Agung berangkat ke Semarang dengan berbekal semangat dan kemampuan yang ada dalam dirinya. Disinipun dirinya gagal masuk seleksi karena dianggap terlalu muda. Ia masih punya kesempatan tahun depan untuk masuk tim sepakbola pelajar.
Kembali hal ini memukul hati Agung tapi ia tetap mencintai sepakbola. Untuk melupakan kesedihan hatinya. Agung aktif dalam kegiatan olahraga di SMAN 6 Solo. Saat itu dirinya ikut lomba loncat tinggi dan lari. Ternyata di sekolah ia menjadi juara loncat tinggi dengan tinggian loncat, 170 cm dan juara lari 100 meter. Otomatis Agung mewakili sekolah untuk mengikuti pekan olahraga antar sekolah se Solo.
Ia pun menjadi juara di dua cabang olahraga yang berbeda jauh itu yaitu lari dan loncat tinggi. Bakat Agung dilihat oleh pemandu bakat atletik. Ia pun mendekati Agung dan meminta nomor telepon rumahnya. Agung tidak menaruh perhatian serius atas permintaan sang pemandu bakat.
Tantangan
Sebulan kemudian Agung mendapat telepon dari sang pemandu bakat. Apakah Agung mau mengikuti lomba lari? “Aku menjawab mau,” jelasnya. Tapi harus biaya sendiri ke Jakarta.
“Yo,wis aku minta uang ke Emak dan Bapak, minta bantuan ke pakde, paklik dan kakak-kakakku. Pokoknya dapat uang cukup untuk ongkos, biaya menginap dan uang makan,” jelasnya. Setelah itu, Agung berangkat ke Jakarta.
Ternyata setibanya di Jakarta, sang pemandu bakat menantang Agung. “Agung, kamu sanggup lari dibawah 11,20 detik. Kalau sanggup kamu akan masuk dibawah bimbingan pelatihan atletik yang benar,” jelasnya.
Agung pun menyanggupi tantangan itu. Ketika dibabak penyisihan, dirinya bisa menembus batas waktu 11,20 detik. Bahkan dirinya bisa menyabet medali emas.
“Yah, ini awal saya terjun secara serius ke dunia atletik,” ujarnya sambil tersenyum.
Saat mengikuti lomba ini, dirinya merasa prihatin juga. “Mas, aku malu ke teman-teman atletik lainnya. Mereka selesai lomba, ramai-ramai belanja beli peralatan olahraga, baju olahraga, sepatu dan lainnya. Aku hanya bisa beli satu stel baju olahraga reebok itu aja,” jelasnya sambil tersenyum pahit.
Tercepat
Waktupun berlalu. Agung telah menjadi atlet nasional. Awalnya ia hanya diproyeksikan sebagai pelari estafet saa tapi nasib berkata lain. Ia pun mendapat latihan intensif sebagai pelari khusus 100 meter, 200 meter dan estafet.
Kerja keras, disiplin dan berdoa kepada Tuhan adalah moto hidup Agung. Ia pun berusaha mempertahankan itu seumur hidupnya. “Mas, ini kalau bukan karena kehendak Tuhan. Tidak mungkin aku bisa meraih prestasi ini,” jelas Agung.
Ketika dirinya berhasil memecahkan rekor Sea Games dengan waktu 10,25 detik. Ia mempersembahkan medali emas ini untuk istrinya, Astatik, dihari yang sama sedang melangsungkan wisuda sarjana. “Aku tidak bisa menghadiri wisudanya tapi aku mempersembahkan medali untuknya,” jelasnya.
Sebenarnya untuk lari 200 meter bukan proyeksi saya. Kebetulan kedua pelatih saya menyarankan untuk ikut saja. Lepas saja larinya karena memang tidak ada target dari KONI. “Akupun mengiyakan saja. Toh lari hanya sehari saja capainya,” jelasnya.
Eh. La..da...lah. Kok dapet medali emas juga. Agung melakukan selebrasi dengan mengenyot jempolnya ke dalam mulut. Emas ini dipersembahkan untuk anaknya, Salwa yang baru berusia 8 bulan saat itu.
Motor
Beberapa jam ngobrol dengan Agung membuat saya agak mengenal dirinya tapi saya terkejut ketika mengetahui Agung dari rumah di Cilandak Barat ke Lapangan Madya Senayan untuk latihan naik sepeda motor.
Apa penyebabnya? Kita tentu mengetahui tingkat kecelakaan sepeda motor di Jakarta sangat tinggi. Laporan tahun 2007 tercatat sebanyak 300 pengemudi motor tewas di jalan. Wah... mengerikan.
Agung sebagai atlet berprestasi seandainya mengalami musibah kecelakaan (tidak sampai fatal) tapi patah kaki atau ototnya ada yang robek. Sungguh suatu peristiwa yang amat sangat disesalkan. Ini merupakan kerugian yang besar bagi dunia olahraga Nasional karena Agung saat ini merupakan salah satu asets olahraga terpenting di Indonesia. Mungkin ia masih bisa berprestasi di Sea Games XXV atau Asian Games.
Hati-hati ya Gung....
Ludi Hasibuan: http://ludihasibuan.blogspot.com
Jumat, 18 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar