Catatan Pinggir Ketika Pak Harto Meninggal Dunia
Minggu, 27-01-08, jam 13.30 WIB.
Ada sms masuk ke telepon genggam saya. “Akhirnya pak Harto meninggal dunia. Ini serius. Sebarkan ke yang lain.” Pesan tersebut saya terima dari seorang aktifis HAM Indonesia. Begitu menerima info ini segera saya hubungi dirinya. “Ini serius beritanya?” tanya saya. “Serius banget. Info terpercaya terima langsung dari RSPP. Kita tinggal tunggu, konfirmasinya di berita,” jelasnya.
Ya, sudah duduk rapi di depan teve dan memegang remote teve. Tepat pukul 14.00 WIB. Breaking news di Metro teve dan keluar pernyataan dari dokter kepresidenan dan pernyataan maaf dari keluarga pak Harto terhadap rakyat Indonesia melalui pernyataan dari Mbak Tutut. Artinya informasinya sudah sah dan akurat atas meninggalnya pak Harto.
Segera informasi disebarkan melalui SMS ke teman-teman mulai dari wartawan, aktifis HAM, saudara dan relasi. Tanggapannya beragam.
Ada seorang Pemred sebuah majalah ekonomi ketika diinformasikan melalui SMS, ia pun segera merespon dengan menghubungi langsung ke telepon genggam saya. “Elo, dapat informasi dari mana?” tanyanya. Ketika dijelaskan dengan bla-bla bahwa infonya sudah diumumkan di televisi. “Wah, sialan. Majalah gue baru selesai deadline malam tadi. Jadi kagak ke buru buat beritanya deh. Terpaksa nunggu bulan depan,” jelasnya. Kebetulan siang itu dirinya sedang membawa keluarganya jalan-jalan ke Senayan City.
Lain halnya dengan seorang teman dari sebuah tabloid ternama Jakarta, yang nge-pos di Surabaya. “Infonya thanks. Aku sedang menuju ke bandara buat ke Solo. Anjrit padahal gue baru ditarik dari Solo hari Senin kemarin,” jelasnya melalui sms. Ia kebetulan bersama rekannya dari tabloid tersebut sempat bertapa selam 10 hari di Solo. Keberadaan mereka disana sebelum berita kematian “false alarm” atas kematian pak Harto. “Gue sampe bosen di Solo. Selama 10 hari mau ngeliput apa ya? Kayanya kecepatan deh sampe di Solonya,” gerutunya.
Seorang pengamat media segera mengirim sms ke saya. “Duduk baik-baik di depan teve. Mari kita tonton siaran teve. Apakah tayangannya menyampaikan fakta yang ada atau mengiring penonton untuk memberikan maaf ke pak Harto?” Wah, sebuah petunjuk yang baik untuk mengamati wajah pertelevisian Indonesia.
Seorang teman di kawasan Menteng telepon. “Boss, elo kagak ke Cendana. Sudah mulai ramai sama wartawan neh. Tadi gue lewat depan Cendana. Mumpung belum banyak orang,” ujarnya. “Enggak ah, gue mau nonton di rumah saja. Soalnya lebih komplit,” jawabku kepadanya. “Wah, sudah luntur lo naluri wartawannya,” jelasnya sambil tertawa.
Biarin ach...
Ada yang lucu ketika menerima sms dari seorang aktifis. “Mendengar berita kematian pak Harto membuat saya bingung. Mau menyanyikan lagu Gugur Bunga atau Sorak Sorai Bergembira? Hehehehe.” Saya pun tertawa membacanya.
Ada lagi ajakan melalui sms. “Mari kita berkumpul di Starbuck.... untuk merayakan meninggalnya sang pelanggar HAM Berat. Jam 19.00 be there.” Hehehe... ternyata sangat beragam ya. Respon orang terhadap kematian Pak Harto.
Kembali ke layar kaca. Sekitar pukul 15.00 WIB, hampir semua stasiun teve menyiarkan langsung dari RSPP untuk menyiarkan pemberangkatan jenazah pak Harto. Ada yang menyiarkannya dari Instalasi Gawat Darurat ada yang melalui pintu masuk utama. Beritapun simpang siur dari mana jenazahnya akan diberangkatkan. Reporter di RSPP kelabakan ketika ditanya macam-macam oleh si pembawa acara diteve. Masalahnya inforasmasi yang diterima dilapangan memang terbatas.
Akhirnya jenazah keluar dari RSPP dan dimasukan ke dalam mobil jenazah. Sempat terekam di televisi ketika wartawan di dorong oleh petugas keamanan karena pintu mobil jenazah tidak bisa ditutup. Yang hebatnya lagi ada 3 petugas keamanan berdiri dibelakang pintu mobil jenazah. Bergelantungan mirip monyet. Apa perlu? Apa ada yang mau menembak jenazah pak Harto atau meledakan mobilnya? Bukannya terlalu over melihat kejadian ini.
Kebetulan remote teve berada digenggaman. Artinya saat itu saya jadi dewa bagi diri saya untuk memilih saluran teve mana untuk menyaksikan acara yang sekali seumur hidup ini. Soalnya tidak mungkin dong pak Harto meninggalnya dua kali.
Sekitar pukul 16.00 an menyaksikan siaran SCTV dari layar kaca. Bayu Sutiyono melaporkan dari jalan Cendana, berdiri diatas mobil ia melaporkan saat-saat kedatangan mobil jenazah yang membawa pak Harto dari RSPP ke rumahnya. Ia mengajak penonton untuk berdoa dan memaafkan pak Harto agar diberi jalan yang lapang untuknya.
Tak lama setelah Bayu Sutiyono menyampaikan laporannya. Saya menerima sms dari seorang pengamat media. “Sebagai seorang jurnalis semestinya menyampaikan berita berdasarkan fakta di lapangan. Bukannnya mengajak penonton untuk bersimpati. Bayu telah gagal menjalankan tugasnya.” Saya pun membalasnya,” Mungkin Bayu terhanyut emosi sehingga ia kehilangan kendali dalam menyampaikan laporannya.
Seorang aktifis HAM sempat mengirimkan sms ke saya. “Kasihan Bayu. Ia tidak bisa membedakan fakta dan rasa simpati terhadap Soeharto.” Well... memang tekanan kerja, emosi dan situasi di lapangan sangat mempengaruhi orang dalam meliput di lapangan. Yang menjadi pertanyaan adalah mampukah seseorang mempertahankan profesionalismenya jika dihadapkan pada situasi tertentu dilapangan yaitu menyampaikan fakta?
Setelah jenazah berada di kediaman Cendana. Sebagian besar media hanya mampu menyampaikan informasinya hanya di depan rumah pak Harto, Cendana. RCTI berhasil menyusupkan Yogi Hartato, hehehe biasanya ngurusin Indonesia Idol, justru masuk ke Cendana. Ia pun melaporkan ke RCTI melalui HP. Hal yang sama dengan Bayu yang menyelusup ke dalam dan menyampaikan laporannya via HP.
Saya jadi ingat ketika Amerika melakukan invasi ke Kuwait. Wartawannya melaporkannnya dengan menggunakan HP untuk melakukan vidio streaming. Hasilnya memang tidak bagus tapi beritanya real time. Kenapa ya tidak kepikiran untuk memanfaatkan tekhnologi hp yang sudah 3,5 G untuk kepentingan peliputan.
Ketika lagi penasaran ingin tahu apa yang terjadi di dalam Cendana. Tiba-tiba sms masuk. Nonton TVRI, salut sama mereka bisa masuk ke dalam Cendana. Saya langsung memindahkan saluran teve ke TVRI. Ternyata memang TVRI lah yang bisa masuk di dalam. Mereka bisa mengambil angle yang bagus. Posisi kamer tevenya tepat di atas kepala jenazah pak Harto. Jadi bisa melihat bagaimana Mamiek bersimpuh di kaki ayahnya, Titiek di samping jenazah dan bisa melihat wajah Tommy yang seperti orang linglung ketika disalami oleh orang. Bravo TVRI.
Melalui TVRI pula saya bisa melihat Presiden RI, SBY datang bersama Wakil Presiden, JK dan keluarga. Yang membuat saya agak terkejut ketika menyaksikan Menko Polkam, Widodo AS, memberi salam dan mencium tangan Titiek. Waduh... benar-benar kejutan. Kalau bukan TVRI saya tidak bisa menyaksikan ini.
Selebihnya stasiun teve mempunyai ritme yang sama dalam menyajikan acaranya mulai dari laporan dari Cendana, Dalam Kalitan dan Astana Giribangun. Kemudian diimbuhi dengan perjalanan hidup pak Harto serta dialog tentang pak Harto, pro-kontra status hukumnya serta orang-orang yang pernah dekat maupun teraniaya oleh pak Harto.
Yang membuat kecewa adalah malasnya stasiun teve membuat biografi tentang pak Harto. Bayangkan data, film dan lain-lainnya sangat terbatas sekali sumbernya. Padahal biodata dan dokumentasi tentang pak Harto sangatlah banyak dan kaya sekali. Seandainya tim riset telah bekerja jauh-jauh hari pasti mereka bisa mengumpulkan dokumentasi dan data yang banyak. Sebenarnya bisa dibuat untuk satu jam penayangan. Kayanya kita akan kecolongan oleh National Geographic ketika akan membuat Biography tentang pak Harto.
Keesokannya menyaksikan siaran upacara pelepasan jenazah dari keluarga ke negara yang dipimpin oleh Ketua DPR RI, Agung Laksono. Dilanjutkan dengan acara brobosan oleh pihak keluarga. Kemudian jenzah diberangkatkan menuju ke Halim Perdanakusumah.
Orang-orang memadati jalan untuk memberikan penghormatan terakhir kepada pak Harto. Mulai dari melemparkan bunga melati hingga melambaikan tangan. Tidak lupa ada yang motret di pinggir jalan memakai hp, kamera digital dan lainnya. Bahkan pembawa acarapun ada yang ter-cekat suaranya karena terharu melihat suasana seperti ini. Kembali terhanyut terbawa emosi.
Tiba-tiba ada sms masuk. “Setelah pak Harto meninggal. Pasti tim dokter ada yang minta cuti dan istirahat ke luar negeri. Mereka juga stress mengurusi pak Harto selama 24 hari.” Hehehe... iya juga kale yee.
Menjelang acara pemakaman di Astana Giribangun, Trans Teve mengundang Sukmawati Soekarnoputri menjadi pembicara yang dipandu oleh Edwin Manangsang dan Susan Bachtiar. Topik pembicaraanya mengenai Soekarno dan Soeharto. Ternyata Sukmawati Soekarnoputri menyampaikan secara tegas, apa adanya mengenai perlakuan yang dialami Soekarno ketika sedang sakit. Apa yang diterima dan diperlakukan oleh Soeharto disampaikan blak-blakan oleh Sukmawati.
Hal ini membuat gagap Edwin dan Susan Bachtiar, mereka kebingungan dan berulang kali melirik ke arah kamera seperti meminta bantuan kepada produser dalam menghadapi sitausi ini. Dialog ini diptong dengan iklan kemudian diakhiri dengan liputan ke Astana Giribangun. Padahal disana belum ada kegiatan apapun untuk dilaporkan. Ini menandakan ketidak siapan kita untuk menyampaikan informasi apa adanya.
Setelah mengikuti seluruh siaran teve upacara pemakaman ini.
Tiba-tiba sms datang lagi.
“Percaya tidak percaya pak harto meninggal di tanggal hoki. 27+01+08 = 9. Pesawat yang mengangkut jenazahnya juga hoki, 1431 = 9.”
Disusul dengan sms dari teman yang meliput di Astana Giribangun:
“Jenazah pak harto sudah disemayamkan. Hujan turun deras dan petir bersahutan. Bumi menangis atas meninggalnya putra bangsa. Tapi gue enggak bisa pulang karena hujan. Pinjem payung bro.”
Rangkaian sms ditutup dengan info seperti ini:
“Tommy, telah menyiapkan hadiah bagi wartawan yang membuat liputan bagus mengenai pemberitaan kematian pak Harto. Hadiahnya berupa sebidang tanah bersertifikat, ukuran 2,5 x 1,5 meter. Lokasi di Asatana Giribangun. Hehehehe...”
Garing dan semprul...
Ludi Hasibuan: http://ludihasibuan.blogspot.com
Minggu, 03 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar