Selasa, 11 Desember 2007

Union Bagi Pekerja Film dan Televisi?


Siang hari di teras Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta.


Kebetulan ngumpul bersama Aris Batubara dan Labbes Widar, sutradara, panitia FFI 2007, mantan pengurus KFT 1999-2004, bidang Kesejahteraan dan Hukum. Biasalah ngerumpi seputar FFI 2007 yang akan diadakan di Pekan Baru, Provinsi Riau hingga menyinggung mengenai peran KFT dalam meningkatkan kesejahteraan Karyawan Film dan Teve.


Kenapa KFT tidak difungsikan sebagai sebuah serikat pekerja atau union untuk melindungi tenaga kerja ini dalam menghadap era globalisasi, AFTA, Free Trade dan lainnya?


Pertanyaan sederhana tapi justru menghasilkan sebuah diskusi yang panjang dan menarik untuk disimak.


Sebelum kita berbicara mengenai pembentukan serikat pekerja atau union.


Kita harus memahami kultur dari para pekerja yang berada dibawah KFT. "Persoalan utama yang dipikirkan saat ini adalah bagaimana memenuhi kebetuhan perut. Jadi kalau kita diajak dialog mengenai pembentukan serikat pekerja atau union. Kurang mendapat respon," ungkap Labbes Widar.


Padahal dalam era perdagangan bebas, AFTA dan globalisasi akan sangat mudah bagi tenaga kerja asing untuk bekerja dilingkungan dunia film dan televisi. Sedangkan perangkat UU untuk melindungi tenaga kerja Indonesia terhadap tenaga asing belum ada. Apalagi yang bergerak didunia film dan televisi.


Sebenarnya KFT sudah bisa diarahkan menjadi sebuah union seperti di Amerika Serikat atau Australia. Jadi tenaga kerja asing yang mau bekerja dibidang pertelevisian atau film harus ada standarisasi. "Idealnya mereka yang mau bekerja disini harus punya track record yang jelas dan kemampuannya harus diatas tenaga kerja Indonesia. Jadi ada pembelajaran dari mereka," jelasnya.


Jika berbicara pembentukan sebuah serikat pekerja atau union seharusnya ada standarisasi profesi. Misalnya bisa mengambil standar profesi sutradara, kameramen atau editor. Jadi jelas siapa saja yang berhak masuk ke dalamnya. Nantinya akan bersinggungan dengan dunia pendidikan di bidang televisi dan film.


"Akibatnya akan menjadi polemik yang panjang jika dipaksakan untuk membuat hal ini karena harus adanya standarisasi. Padahal kita mesti bersikap toleran terhadap pekerja film dan teve jika berbicara mengenai perut," ujarnya. Ia mengakui agak kerepotan jika berbicara mengenai hal ini.


Kompleks memang tapi harus ada memulainya. Apalagi kalau tenaga kerja instan di rumah produksi yang menggarap infotainment. Mulai dari sutradara, kameramen hingga penulis nasakah. Mereka kebanyakan menerima pendidikan singkat dan sisanya belajar sendiri. Hasilnya? Ya bisalah melihat sendiri. Tidak maksimal.


Seandainya perlu dibuat standarisasi profesi pekerja Televisi dan Film tentunya akan membuat para pekerja ini ada yang merasa terancam dapurnya. Padahal tidak semestinya takut. Pasti ada solusinya. Artinya mereka bisa mengikuti pendididkan dibidangnya agar mendapat standarisasi dibidangnya. Kalau tidak bagaimana mau bersaing dengan tenaga kerja asing yang lebih trampil.


Lalu siapa yang akan memulai menggerakan hal in? Ya, orang-orang yang bergerak dibidang televisi dan film. Merekalah yang akan bertanggung jawab terhadap profesinya dan meneruskan ke generasi berikutnya. (ludi hasibuan - ludihasibuan.blogspot.com)






Tidak ada komentar: